HEADLINE NEWS

Kebebasan, Tanggung Jawab, Hati Nurani

On August 30, 2020

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang

Diantara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Ada dua kelompok atau golongan dalam teologi yang bertentangan dalam menafsirkan tentang kebebasan.Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya, perbuatan mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan.

Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan diatas ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral.Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab.Tidak mungkin ada tanggung jawab tanda ada kebebasan. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.
Namun manusia dalam melakukan tindakanya tidak bisa lepas dari yang namanya hati nurani. Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Karena sifatnya yang demikian, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, dalam artian bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat dipertanggung jawabkan.

 

B.  Rumusan Masalah

1.        Apa itu kebebasan?

2.       Apa itu tanggung jawab?

3.      Apa itu hati nurani?

4.      Bagaimana hubungan kebesan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Kebebasan

Secara bahasa kebebasan berasal dari kata bebas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bebas berarti lepas atau merdeka.

Secara istilah kebebasan yaitu,

1.    Kebebasan sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan atau keterikatan kepada orang lain.

2.    Kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja, dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan.

3.    Kebebasan dapat juga diartikan sebagai kemerdekaan seseorang tanpa ada kekangan dari pihak manapun yang dapat menghalangi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.

4.    Dalam arti luas kebebasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang menyangkut semua urusan mulai dari sekecil-kecilnya sampai sebesar-besarnya sesuai keinginan, baik individu maupun kelompok namun tidak bertentangan dengan norma-norma, aturan-aturan, dan perundang-undangan yang berlaku.

Islam mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab yang memperhatikan norma-norma yang berlaku. Dengan kata lain, setiap orang memiliki kebebasan, ia bebas melakukan apa saja selagi ia mempertanggung jawabkan dan tidak melanggar norma-noram yang ada. Seseorang di sebut bebas apabila :

1.    dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.

2.    dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada baginya.

3.    tidak di paksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang akan di pilihnya sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilih sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.[1]

Selain itu kebebasan meliputi segala macam perbuatan manusia, yaitu kegiatan yang di sadari, disengaja dan dilakukun demi suatu tujuan yang selanjutnya di sebut tindakan.

Dilihat dari segi sifatnya kebebasan dapat di bagi tiga yaitu :

1.      Kebebesan jasmani yaitu kebebasan untuk mrnggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki.

2.      Kebebesan rohaniah (kehendak) yaitu kebebasan menghendaki sesuatu Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir,karena manusia dapat memikirkan apa saja.

3.      Kebebasan moral yaitu kebebasan seseorang dalam melakukan sesuatu hubungan perseoarangan, dan melakukan suatu kegiatan sesuai hati nuraninya.[2]

Dalam arti luas berarti tidak adanya macam–macam ancaman, tekanan, larangan dan  tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan–kemungkinan untuk bertindak. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.

Dalam Al-Qur’an surat Fushilat ayat 40 Allah berfirman: Artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha   melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.s Fushilat: 40).[3]

Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu–satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan duniannya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar.

 

B.  Tanggung Jawab

Istilah dalam islam, Tanggung jawab merupaka amanah. Secara luas tanggung jawab diartikan sebagai usaha manusia untuk melakukan amanah secara cermat, teliti, memikirkan akibat baik buruknya, untung ruginya dan segala hal yang berhubungan denagn perbuatan tersebut secara transparan menyebabkan orang percaya dan yakin, sehingga perbuatan tersebut mendapat imbalan baik maupun pujian dari orang lain.[4]

Manusia yang hidup sebagai makhluk sosial, tidak bisa bebas, dan terhadap semua tindakannya ia harus bertanggung jawab. Persoalan ‘Tanggung jawab” Allah berfirman dalam surat Al Qiyamah ayat 36.

Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”. (Q.s Al Qiyamah: 36).[5]

Sa’id Nursiy, Mujtahid turki paman mustafa kemal, menafsirkan tentang nasib setiap pribadi manusia. Manusia menurutnya akan dihisab nantinya, baik masalah yang kecil maupun yang besar. dan akan menuju masyar (tempat berkumpul) untuk mendapat ketentuan tentang tempat terapnya yang abadi.

Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia dijadikan Allah tidak percuma begitu saja. Mereka di bekali dengan berbagai alat yang lebih sempurna dari pada makhluk lainnya. Tindakan dan sikap lakunya akan diadakan perhitungan, baik dan buruk besar atau kecil juga akan ada hisab atau perhitungan Illahi yang tak bisa dielakan. Maka manusia tidak boleh berbuat dengan semau hati, pikiran dan perasaan.

Secara tersirat, ayat diatas menghimbau hati nurani manusia bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Pertanggung jawaban tertuju kepada segala perbuatan, timdakan, sikap hidup, sebagai pribadi anggota, keluarga rumah tangga, masyarakat, negara, manusia mempunyai tanggung jawab baik terhadap tuhannya maupun manusia sesamanya.

Tanggung jawab ditegaskan adalah untuk mempertahankan keadilan, keamanan, dan kemakmuran. Maka kemampuan seseorang bertanggung jawab dalam segala tindakan merupakan salah satu diantara kelebihan manusia. Apabila pertanggung jawaban didalam kehidupan tidak diutamakan atau tidak diperdulikan maka harga diri pun akan jatuh. Manusia adalah makhluk yang mukallaf dengan maksud bahwa manusia diberikan beban atau tugas oleh Allah dalam berbagai bidang yang akan dimintai pula pertanggung jawabannya.[6]

     

C.  Hati Nurani

Hati nurani merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani biasanya cenderung paha hal yang positif bukan pada yang negatif. Atas dasar ini muncullah paham intuisisme yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah yang tidak sejalan dengan kata hati. Hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangn dalam melaksanakan kebebasan dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya sendiri. Adapun fungsi keadaan hati nurani dapat disebutkan bahwa:

1.        Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan memberi petunjuk dan menakuti dari kemaksiatan

2.        Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan mendorongnya untuk menyempurnakan perbuatan yang baik dan menahan dari perbuatan yang buruk

3.        Apabila kekuatan menyusul setelah perbuatan, akanmerasa gembira dan senang apabila melakukan perbuatan yang ditaati namun akan merasa sakit dan pedih waktu melanggar perbuatan jelek.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nurani berarti “terang, cahaya”. Sedangkan hati nurani adalah perasaan hati murni yang sedalam-dalamnya.

Hati nurani berdasarkan latar belakang kejadian dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu:

1.      Hati nurani retrospektif, yaitu memberikan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan atau yang sudah berlangsung di waktu lampau.

2.      Hati nurani prospektif, yaitu melihat dan menilai perbuatan yang hendak dilakukan pada masa yang akan datang.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, bahwa hati nurani (suara hati) mempunyai tiga tingkatan:

a)       Perasaan melakukan kewajiban karena takut pada manusia.

b)      Perasaan mengharuskan mengikutinya apa yang harus diperintahkan.

c)       Rasa seharusnya mengikuti apa yang dipandang benar oleh dirinya.[7]

 

D.   Hubungan Antara Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Hati Nurani dengan Akhlak.

Suatu perbuatan baru dikatakan perbuatan yang akhlaki apabila perbuatan tersebut dilakukan atas keasadaran sendiri dengan tulus ikhlas, bukan paksaan ataupun di buat-buat. Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbutan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Inilah hubungan antara akhlak dengan kebebasan.

Selanjutnya, perbuatan akhlak dilakukan atas kesadaran sendiri tanpa adanya paksaan. Perbuatan yang demikian dapat dimintai pertanggungjawaban dari orang yang melakukannya. Di sini letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.

Perbuatan akhlaki haruslah muncul dari dalam lubuk hati sehingga keikhlasan hatilah yang melakukannya sehingga dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari. Maka hubungan akhlak dan kata hati/ hati nurani muncul.

Dengan demikian masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani merupakan faktor penting dalam menentukan suatu perbuatan dikatakan akhlaki.

 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulan bahwa:

1.         Kebebasan merupakan hak seseorang untuk berekspresi dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya tanpa ada tekanan dari pihak lain namun tetap pada batas-batas tertentu. Kebebasan menurut sifatnya dibedakan menjadi 3: kebebasan jasmaniah, kebebasab kehendak dan kebebasan moral.

2.         Tanggung jawab adalah sikap dimana seseorang dapat dimintai penjelasan mengenai apa yang telah diperbuat, tidak hanya menjawab tapi juga tidak mengelak.

3.         Hati nurani merupakan perasaan/ suara hati manusia yang menjadi dasar pertimbangan mereka dalam melakukan suatu tindakan, dimana perbuatan tersebut cenderung kepada kebaikan. Namun tidak selamanya hati nurani berkata benar, meskipun begitu manusia cenderung untuk tetap menaati apa yang menjadi keyakinannya dalam hati mereka.

4.         Hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak sangatlah jelas dan terikat. Kebebasan muncul karena adanya keinginan dari hati nurani untuk melakukan sesuatu, perbuatan yang sesuai hati nurani dan cenderung pada kebaikan disebut sebagai perbuatan akhlaki. Perbuatan sekecil apapun akan memiliki konsekuensi yang kemudian mengharuskan pelaku bertanggung jawab atas apa yang diperbuat, entah itu  merugikan atau menguntungkan. Maka dari itu K. Bertens menyatakan bahwa tidak akan ada tanggung jawab tanpa adanya kebebasan yang bersumber dari hati nurani.

 

B.  Saran

Demikianlah makalah yang kami buat. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu  kritik dan saran senantiasa kami tunggu guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermafaat bagi kita semua, Amin.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Abdullah, M.Yatimin, 2007 Study Akhlak Dalam Prespektif Alqur’an, Editor M.Dzikrullah Jakatra: Amzah.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Mustofa, A.Ahmad, 1997 ,Akhak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.

Nata,Abuddin, 2010, Akhlak tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers.

.

 

 



 



[1] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Hlm.131

[2] Ibid. Hlm. 132

[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang), Hlm. 962

[4] Yatimin Abdullah, Study Akhlak Dalam Prespektif Alqur’an, (Jakatra: Amzah), Hlm.104

[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang), Hlm. 1198

[6]Ahmad Mustofa, Akhak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Hlm. 116

[7] A.Ahmad Mustofa,  Ibid, Hlm. 121