MAKALAH
EKONOMI ISLAM
Tentang :
Sejarah dan Perkembangan Ekonomi Islam
Oleh :
Rizal
Oktaralitadi (Nim. 1610103100)
Dosen Pembing :
Wissalam
Bustami, ME.Sy
PROGRAM STUDI PERBAIAN
SYARI’AH JURUSAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN 1438 H / 2016
M
KATA
PENGANTAR
الحمدلله رب العالمين
و الصلاة و السلام
على سيدنا محمد و على
اله وأصحابه اجمعين
Alhamdulillah,
puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. atas rahmat dan karunia-nya
jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini pada mata kuliah “Ekonomi Islam” yang berjudul : “Sejarah dan
Perkembangan Ekonomi Islam”.
Salawat dan
salam kedapa junjungan kita Nabi Muhammad Saw, yang telah membimbing umat
manusia dari kejahilan kepada alam kebenaran, dan Semoga isi dan makna yang
terkandung dalam Makalah ini dapat membantu proses perkuliahan kita pada mata
kuliah ini.
Penulis juga
menyadari bahwa Makalah ini tidak luput dari segala kekurangan, untuk itu
kritik dan saran dari Dosen Pembimbing dan Forum diskusi demi kesempurnaaan
Makalah ini dan menjadi pedoman selanjutnya bagi penulis.
Kerinci, 30 September 2016
Penulis,
Dto
Rizal Oktara Litadi
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Ekonomi Islam...................................................... 2
B. Perkembangan Praktik Ekonomi Islam ............................................................. 3
C. Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia .............................................................. 4
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................................ 8
B.
Saran ................................................................................................................. 8
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah
satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia
dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan
prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia,
melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi
kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah SWT
untuk dipertanggungjawabkan.
Islam adalah sistem
kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat aturan
yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Ekonomi
Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam bagian tak
terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam,
ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Ciri khas
ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan fakta, serta konsep yang
rasional.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah
Perkembangan Ekonomi Islam?
2.
Bagaimana Perkembangan
Praktik Ekonomi Islam?
3.
Bagaimana Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Perkembangan Ekonomi Islam
Perkembangan ekonomi
Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin,
kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk manusia di
dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal, tidak ada
eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada
produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak
terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada
korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan
dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia
menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah
di kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada
sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya operasionalisasi
bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan.
Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari
visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang
seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris,
koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain tidak
henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan saling
mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi
Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini
karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana
dinyatakan Masrhal,[1]
dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama.
Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah
merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu,
yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan
kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup
atas dasar dan menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak
ditemukan kontradiksi antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi
muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi
dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 7 yang artinya:“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
(QS. Surat Al-Qashash :7)
Ekonomi Islam adalah
salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan, proses realisasi
visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses
mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud
yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan praktik
ekonomi Islam.
B. Perkembangan Praktik
Ekonomi Islam
Praktek perbankan di
zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga
yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:
1. Menerima simpanan uang;
2. Meminjamkan uang atau
memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan
musaqah;
3. Memberikan jasa
pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di
bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi
bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam
bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke
dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam
bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang
lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman
Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi
pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah.
Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang
melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi
tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang
setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut
di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[3]
yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money
changer.
Peranan bankir pada
masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir (908-932).[4]
Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran.
Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama
yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo
(Spanyol).[5]
Mengingat penting dan
strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda
perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan
tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses.
Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga
di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan
mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh
para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena
masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian,
operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral
Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga
dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas
mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank
(IDB) bulan Oktober 1975
C. Gerakan Ekonomi Islam
di Indonesia
Akar sejarah pemikiran
dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya
Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak
terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa
Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang
populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para
pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang
Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab.
Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi.
Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk
formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana
terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi
dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara
khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan
yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan
hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi
upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak
pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas
ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada
pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah
gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah
Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan
santri dan pondok pesantren.[6]
Kelahiran bank Islam di
Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor:
1. Adanya kepastian hukum
perbankan yang melindunginya;
2. Tumbuhnya kesadaran
masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah;
3. dukungan politik atau
political will dari pemerintah.
Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak
diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak
tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning
jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri
Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji
kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal
saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN
menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak
diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah
di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para
pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank
konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah
bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya
mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil
dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di
lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank
konvensional milik pemerintah.[7] Terlepas dari kekurangan dan kelebihan
perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan
konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian
Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005
telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah)
untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan
syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran
al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber
hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari
empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional.
Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi
metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat
terhadap fatwa-fatwa itu.[8]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia
bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank
syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya
mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998,
disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7
tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui
sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga
keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan
sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli
1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11
bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober
2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi terjadi lagi satu bank konvensional
yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum
krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan
pemerintah.
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang
secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain
bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan
bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI
Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah,
BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang
bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal
wat-Tamwil).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baru tiga dasawarsa
menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali
kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat
perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan
memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai
realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah
Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai
negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga-lembaga
keuangan syariah.
Momentum Indonesia
Syariah Expo hendaknya bisa menyentakkan dan membuka mata pemerintah untuk
melirik dan menerapkan ekonomi syariah sebagai solusi perekonomian
Indonesia. Pemerintah harus melihat ekonomi syari’ah dalam konteks
penyelamatan ekonomi Nasional. Sehubungan dengan itu, pembentukan Dewan Ekonomi
Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dengan memasukkan para pakar ekonomoi
syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di Indonesia telah menunjukkan
ketangguhannya di masa krisis dan lagi pula dalam praktek perekonomian di
Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan dual system,
yakni konvensional dan sistem ekonomi syari’ah, terutama yang berkaitan dengan
lembaga perbankan dan keuangan.
B. Saran
1. Semoga makalah yang
dibuat oleh penyusun ada manfaatnya bagi pembaca khususnya bagi penulis.
2. Ekonomi syariah islam
telah terbukti dalam membangun ekonomi nasional jadi pemerintah harus segera
mempergunakan system ekonomi islam untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi
rakyat.
3. Pemerintah jangan
menghilangkan system ekonomi islam pada era sekarang ini melainkan harus terus
menjaga ekonomi syariah islam.
DAFTAR PUSTAKA
Depertemen
Agama RI. (2008). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Cv Penerbit Diponegoro.
Adiwarman A. Karim. (2004). Refleksi dan
Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi
Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Mūd Abū Su’ūd, (1968). sebagaimana
dikutip oleh Mah ād al-Islāmiyy%ut Ra’isiyyah fī al-Iqtis Khut, Maktabat
al-Manār al-Islāmiyyah : Kuwait.
Nafis, M Cholil. (2016). Corak
Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217
[1]Mūd
Abū Su’ūd, Marshal sebagaimana dikutip oleh Mah ād al-Islāmiyy%ut
Ra’isiyyah fī al-Iqtis Khut, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah,
Kuwait,1968), h. 56.
[3]Adiwarman
A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. Diakses dari
http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. (Tanggal 27 September
2007).
[4]
Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini
dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau kihbud. Pada masa
pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz
digunakan untuk orang yang melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak
tanah.
[5]Pada
masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya:
Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya.
[6]Fakta
penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok
Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat,
DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin
menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
(baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
[7]Data
diperoleh dari nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah Lembur
Kuring (nama samaran)
[8]M
Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses
dari http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217 (Tanggal
27 September 2016)
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »